BEGINILAH KYAI DAHLAN MENDIDIK KITA
 Oleh: Dr. Adian Husaini
 Peneliti INSISTS, Pendiri Pesantren at-Taqwa, Depok
 “Tatkala umur 15 tahun, saya simpati kepada Kyai Ahmad Dahlan, sehingga
 mengintil (mengikuti. Pen.) kepadanya, tahun 1938 saya resmi menjadi 
anggota Muhammadiyah, tahun 46 saya minta jangan dicoret nama saya dari 
Muhammadiyah; tahun ’62 ini saya berkata, moga-moga saya diberi umur 
panjang oleh Allah Subhaanahu wa-Ta’ala, dan jikalau saya meninggal 
supaya saya dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan 
saya.”
 (Soekarno)
 *****
 Itulah sebagian isi pidato 
Bung Karno pada Muktamar Muhammadiyah di Jakarta, 25 November 1962. Bung
 Karno mengaku kagum dengan Kyai Ahmad Dahlan sejak usia muda, tatkala 
masih berdiam di rumah HOS Tjokroaminoto. Karena terpesona dengan 
ceramah-ceramah Kyai Dahlan, maka Soekarno muda berkali-kali mengikuti 
tabligh Kyai Dahlan. “… saya tatkala berusia 15 tahun telah buat pertama
 kali berjumpa dan terpukau – dalam arti yang baik – oleh Kyai Haji 
Ahmad Dahlan,” kata Presiden Soekarno. Karena itu, lanjut Bung Karno, 
“saya ngintil – ngintil artinya mengikuti – Kyai Ahmad Dahlan itu.”
 Itulah sosok Kyai Haji Ahmad Dahlan yang membuat Soekarno muda terpukau
 dan ‘ngintil’ kemana saja Kyai Dahlan berceramah. Seperti apakah 
pribadi Kyai Dahlan yang mempesona itu? Solichin Salam, dalam bukunya, 
K.H. Ahmad Dahlan, Reformer Islam Indonesia (1963), mendokumentasikan 
sosok dan perjuangan Kyai Dahlan.
 “Kebesaran Kyai Dahlan tidaklah
 terletak pada luasnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya, melainkan 
terletak pada kebesaran jiwanya, kebesaran pribadinya. Dengan 
bermodalkan kebesaran jiwanya dan disertai keichlasan dalam berjuang dan
 berkorban inilah yang menyebabkan segala gerak-langkahnya, amal usaha 
dan perjuangannya senantiasa berhasil,” tulis Solichin Salam.
 
Tentang kepribadian Kyai Dahlan, digambarkan: “Pribadi manusia Ahmad 
Dahlan ialah pribadi manusia yang sepi ing pamrih, tapi rame ing gawe. 
Manusia yang ikhlas, manusia yang jernih, jauh dari rasa dendam dan 
dengki. Kyai Ahmad Dahlan adalah manusia yang telah matang jiwanya, 
karenanya beliau dapat tenang dalam hidupnya.”
 Semangat 
perjuangan dan pengorbanan Kyai Dahlan dapat disimak dalam sejumlah 
kisah berikut. Saat Kyai Dahlan jatuh sakit, seorang dokter Belanda 
menasehatinya untuk beristirahat. Kata si Dokter: “Saya mengetahui apa 
yang menjadi cita-cita Tuan, dan sebagai seorang dokter, saya pun 
mengetahui penyakit yang kyai derita. Penyakit kyai ini tidak memerlukan
 tetirah keluar kota, tetapi cukup di rumah saja. Sakit kyai ini hanya 
memerlukan mengaso, lain tidak.”
 Tetapi, Kyai Dahlan tidak 
memperhatikan nasehat dokter tersebut. Ia terus berkeliling daerah, 
bertabligh, tanpa peduli kesehatannya. Kyai Dahlan wafat pada 23 
Februari 1923. Beberapa bulan sebelum wafatnya, Kyai Dahlan pergi 17 
kali meninggalkan Yogyakarta untuk berbagai kegiatan dakwah.
 
Berikut ini di antara kegiatan Kyai Dahlan pada akhir-akhir hidupnya. 
Pada 7 Januari 1922, membuka rapat di Banyuwangi; 28 Januari 1922, 
membuat promosi di Jakarta tentang pendirian Sekolah Guru Agama Islam; 6
 Agustus 1922, membuka pengajaran agama Islam di sekolah Hoogere 
Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (Sekolah Guru Tinggi untuk guru
 Bumiputra) di Purworejo; 7 Agustus 1922 membantu usaha pendirian 
sekolah agama Islam di Kepanjen; 21 September 1922, mengurus pengajaran 
agama Islam di H.K.S. Purworejo; 4 November 1922, membuka pengajaran 
agama Islam di O.S.V.I.A (Opleidingschool voor Indlansche Ambtenaren) di
 Magelang; dan berbagai kegiatan lainnya.
 Jadilah guru!
 
Tidak diragukan, Kyai Ahmad Dahlan adalah pejuang dan tokoh pendidikan 
nasional sejati. Disebutkan, bahwa sebab-sebab didirikannya 
Persyarikatan Muhammadiyah adalah: (a) Umat Islam tidak memegang teguh 
tuntunan al-Qur'an dan Sunnah Nabi sehingga merajalelanya syirik, 
bid’ah, dan tachyul. Akibatnya agama Islam tidak memancarkan sinar 
kemurniannya lagi, (b) ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat 
Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan 
suatu organisasi Islam yang kuat, (c) kegagalan dari sebagian 
lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memproduksi kader-kader, karena 
tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman, (d) karena keinsyafan akan 
bahaya yang mengancam umat Islam, bagi keluhuran serta keberlangsungan 
agama Islam di Indonesia, berhubung dengan kegiatan dari zending dan 
missi Kristen di Indonesia, (e) adanya tantangan dan sikap acuh tak acuh
 (onverschillig) atau rasa kebencian di kalangan intelegensia terhadap 
agama Islam, yang oleh mereka dianggap sudah kolot serta tidak 
up-to-date lagi, (f) ingin menciptakan suatu masyarakat, di mana di 
dalamnya benar-benar berlaku segala ajaran dan hukum-hukum Islam.
 Kyai Ahmad Dahlan memang seorang manusia amal. Ia bukan hanya berpikir,
 dan memahami masalah. Tetapi, lebih penting lagi, ia berpikir jauh ke 
depan, dan mencarikan solusi masalah secara mendasar. Bahkan, lebih dari
 itu, Kyai Dahlan langsung memimpin perjuangan itu sendiri; menjadikan 
dirinya, istrinya, dan keluarganya sebagai teladan perjuangan. Inilah 
yang membuat seorang Soekarno terpesona sejak usia mudanya.
 
Meskipun terjajah secara ekonomi, politik, dan militer, Kyai Dahlan 
paham benar, bahwa akar masalah umat dan bangsa ini terletak pada 
masalah pendidikan. Dari pendidikan inilah akan dilahirkan kader-kader 
umat dan bangsa. Uniknya, Kyai Dahlan memulai dari pendidikan kaum 
perempuan. Sebab, menurutnya, perempuan memegang peran penting dalam 
pendidikan anak.
 Kyai Dahlan tidak menunggu gedung megah untuk 
membuka sekolah. Ia mulai dari serambi rumahnya. Di situlah belajar 
sejumlah murid pertama, seperti Aisyah Hilal, Busyro Isom, Zahro Muhsin,
 Wadi’ah Nuh, Dalalah Hisyam, Bariah, Dawinah, dan Badilah Zuber. Kyai 
Dahlan sendiri yang mengajar mereka. Sekolah itu belum diberi nama. Para
 murid belajar ilmu aqaid, fiqih, akhlak, qira’ah, dan lain-lain.
 Barulah pada tahun 1913, sekolah itu berpindah ke gedung baru. Atas 
jasa putranya, H. Siraj Dahlan, terbentuklah sebuah madrasah yang diberi
 nama “al-Qismul Arqa”. Pada tahun-tahun berikutnya, madrasah ini diberi
 nama Hooger Muhammadiyah School, lalu menjadi Kweekschool Islam, dan 
pada 1932 berubah nama menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah. Inilah 
sekolah guru Muhammadiyah.
 Sekolah guru ini dimaksudkan untuk 
melahirkan kader-kader pejuang. Patut dicatat, bahwa ketika itu, banyak 
orang tertarik menjadi guru karena status sosial yang tinggi. Banyak 
anak-anak muslim memasuki sekolah guru Belanda atau sekolah Guru 
Kristen, sehingga mereka menjadi sekuler atau menjadi Kristen.
 
Salah satu anak muslim yang berubah menjadi Katolik setelah memasuki 
sekolah guru Katolik adalah Soegijapranata. Buku “Ragi Carita: Sejarah 
Gereja di Indonesia 1860-an sampai Sekarang” karya Dr. Th. Van den End 
dan Dr. J. Weitjens SJ (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002) menuliskan 
sekilas kisah Soegijapranata bersekolah guru dan mengubah agama menjadi 
Katolik di bawah asuhan Frans van Lith: “Waktu masuk Muntilan, Soegija 
menyatakan dia ingin sekolah, tak mau jadi Katolik, tetapi pada tanggal 
24 Desember 1909 Albertus Soegijapranata dibaptis.”
 Posisi 
sekolah guru (kweekschool) asuhan Frans van Lith diuntungkan oleh 
kebijakan pemerintah penjajah Belanda, khususnya di bawah Gubernur 
Jenderal AF van Idenburg (1909-1916) yang sangat berpihak kepada misi 
Kristen di Hindia Belanda (Indonesia). Lulusan sekolah ini diberi hak 
yang sama dengan sekolah milik Belanda untuk menjadi guru di 
sekolah-sekolah negeri. Bagi masyarakat umum saat itu, menjadi guru di 
sekolah-sekolah milik pemerintahan Hindia Belanda, dianggap bergengsi.
 Jadi, Kyai Ahmad Dahlan paham benar akan nilai strategisnya aspek 
pendidikan. Sedangkan kunci keberhasilan pendidikan terletak pada 
kualitas guru. Dari sekolah-sekolah Guru Muhammadiyah inilah lahir para 
pemimpin, ulama, dan tokoh masyarakat. Bangsa Indonesia tak akan lupa 
sosok pahlawan besar, Jenderal Sudirman, seorang guru Muhammadiyah.
 Batu pertama
 Di bulan-bulan menjelang wafatnya, kondisi kesehatan Kyai Ahmad Dahlan 
semakin menurun. Dokter menyarankan ia beristirahat di sebuah daerah di 
lereng Gunung Bromo. Tapi, lagi-lagi, di situ pula Kyai Dahlan justru 
aktif berdakwah. Usaha murid-muridnya untuk membujuknya beristirahat 
gagal lagi. Maka, dimintalah Nyai Dahlan menasehati Sang Suami.
 “Istirahat dulu, Kyai!” saran sang istri.
 “Mengapa saya akan istirahat?” tanya Kyai Dahlan.
 “Kyai sakit, istirahatlah dulu, menunggu sembuh,” kata Nyai Dahlan lagi.
 “Ajaib,” kata Kyai Dahlan, “Orang di kiri kananku menyuruh aku berhenti
 beramal, tidak saya pedulikan. Tetapi sekarang kau sendiri pun ikut 
pula.”
 Dengan meneteskan air mata, istrinya berucap, “Saya bukan 
menghalangi Kyai beramal, tetapi mengharap kesehatan Kyai, karena dengan
 kesehatan itulah Kyai dapat bekerja lebih giat di belakang hari.”
 Kyai Dahlan pun menenangkan istrinya; menjelaskan latar belakang 
perjuangannya. “Saya mesti bekerja keras, untuk meletakkan batu pertama 
dari pada amal yang besar ini. Kalau sekiranya saya lambatkan atau pun 
saya hentikan, lantaran sakitku ini, maka tidak ada orang yang akan 
sanggup meletakkan dasar itu. Saya sudah merasa, bahwa umur saya tidak 
akan lama lagi. Maka jika saya kerjakan selekas mungkin, maka yang 
tinggal sedikit itu, mudahlah yang di bekalang nanti untuk 
menyempurnakannya.”
 Suatu saat, seorang keponakan Kyai Dahlan 
bernama Badawi, menengoknya. Sang Kyai bertanya, “Apa maksudmu datang 
kemari, menghendaki matiku ataukah sakitku?” Badawi menjawab, “Tentu 
menghendaki sembuhnya Kyai.”
 Maka Kyai Dahlan berujar, “Kalau 
kamu menghendaki sembuhku, tahukah kamu apa yang menjadi sebab sakitku 
ini? Yaitu, karena memikirkan Muhammadiyah. Karena itu bantulah 
Muhammadiyah. Pergilah kepada Muchtar dan tanyakan apa yang diperlukan 
Muhammadiyah.”
 Ternyata, menurut Muchtar, Madrasah Mu’allimin 
Muhammadiyah memerlukan tenaga guru. Akhirnya, Badawi pun menyumbangkan 
tenaganya, mengajar di Mu’allimin Muhammadiyah.
 Kira-kira 
seminggu sebelum wafatnya, Kyai Dahlan berpesan kepada murid-muridnya, 
“Aku tak lara ya, kowe kabeh temandanga!” (Saya mau sakit, bekerjalah 
kalian semua!”).
 Beginilah Kyai Ahmad Dahlan mendidik kita; 
bagaimana memahami hidup, cinta dan ikhlas dalam perjuangan dan 
pengorbanan; juga bagaimana menjadi guru sejati, guru pejuang! Ia pun 
berpesan, “Kita manusia ini, hidup di dunia hanya sekali buat bertaruh. 
Sesudah mati, akan mendapat kebahagiaankah atau kesengsaraan?”
 
KUNCI PERBAIKAN PENDIDIKAN KITA ADALAH KESUKSESAN MENANAMKAN AKHLAK 
MULIA... Semoga kisah perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam pendidikan 
tersebut bisa kita teladani.
 Semoga dunia pendidikan kita TIDAK 
menghasilkan manusia-manusia yang gila dunia, lupa akhirat, 
sampai-sampai menghalalkan segala cara untuk meraih kursi sekolah, 
harta, dan tahta! Wallahu A’lam bish-shawab.
 (Artikel ini dimuat di Jurnal ISLAMIA, Republika-INSISTS, edisi 19 Juli 2018)