KONEKSI ANTAR MATERI
MODUL 2.3 COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK
Ronaldo Rozalino, S.Sn.,M.Pd
Pemikiran reflektif saya
terkait pengalaman belajar di modul 2.3 adalah bahwa coaching merupakan
kegiatan yang lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Coaching berbeda dengan
mentoring, konseling, fasilitasi dan training. Stone (2002) mendefinisikan
mentoring sebagai suatu proses dimana seorang teman, guru, pelindung, atau
pembimbing yang bijak dan penolong menggunakan pengalamannya untuk membantu
seseorang dalam mengatasi kesulitan dan mencegah bahaya. Gibson dan Mitchell
(2003) menyatakan bahwa konseling adalah hubungan bantuan antara konselor dan
klien yang difokuskan pada pertumbuhan pribadi dan penyesuaian diri serta
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Shwarz (1994) mendefinisikan
fasilitasi sebagai sebuah proses dimana seseorang yang dapat diterima oleh
seluruh anggota kelompok, secara substantif berdiri netral, dan tidak punya
otoritas mengambil kebijakan, melakukan intervensi untuk membantu kelompok
memperbaiki cara-cara mengidentifikasi dan menyelesaikan berbagai masalah,
serta membuat keputusan, agar bisa meningkatkan efektivitas kelompok itu.
Training menurut Noe, Hollenbeck, Gerhart & Wright (2003) merupakan suatu
usaha yang terencana untuk memfasilitasi pembelajaran tentang pekerjaan yang
berkaitan dengan pengetahuan, keahlian dan perilaku oleh para pegawai.
Keterampilan coaching
perlu dimiliki para pendidik untuk menuntun segala kekuatan kodrat (potensi)
agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota
masyarakat. Sistem Among, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut
Wuri Handayani, menjadi semangat yang menguatkan keterampilan komunikasi guru
dan murid dengan menggunakan pendekatan coaching. Tut Wuri Handayani menjadi
kekuatan dalam pendekatan proses coaching dengan memberdayakan
(andayani/handayani) semua kekuatan diri pada murid. Sebagai seorang Guru
(pendidik/pamong) dengan semangat Tut Wuri Handayani, maka perlulah kita
menghayati dan memaknai cara berpikir atau paradigma berpikir Ki Hajar
Dewantara sebelum melakukan pendampingan dengan pendekatan coaching sebagai
salah pendekatan komunikasi dengan semangat among (menuntun). Dalam relasi
guru dengan guru, seorang coach juga dapat membantu seorang coachee untuk
menemukan kekuatan dirinya dalam pembelajaran. Pendekatan komunikasi dengan
proses coaching merupakan sebuah dialog antara seorang coach dan coachee yang
terjadi secara emansipatif dalam sebuah ruang perjumpaan yang penuh kasih dan
persaudaraan. Oleh sebab itu, empat (4) cara berpikir ini dapat melatih guru
(coach/pamong) dalam menciptakan semangat Tut Wuri Handayani dalam setiap
perjumpaan pada setiap proses komunikasi dan pembelajaran.
Senang, terperangah,
merasa beruntung ketika saya mengalami pembelajaran tentang coaching untuk
supervisi akademik. Mempelajari materi Coaching untuk Supervisi Akademik
membuat saya seperti berada di ruang kemerdekaan belajar yang sesungguhnya.
Saat menjadi coachee, maka saya merasakan betapa saya dihargai dengan digali
oleh pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya menemukan sendiri solusi dari
permasalahan saya. Ketika menjadi coach, saya juga merasakan betapa kita harus
belajar sabar untuk mau mendengarkan aktif, memberi kesempatan kepada coachee
untuk menemukan solusi tanpa kita ikut campur tangan memberikan saran dan
masukan. Saat menjadi pengamat saya juga belajar bagaimana menjadi pengamat
yang harus sabar, belajar terbuka melihat sisi-sisi baik seseorang, tidak
memberikan judgement dari apapun yang diamati.
Sesuatu yang sudah baik
dalm proses belajar dalam diri saya adalah berusaha memberikan pembelajaran
yang bermakna dan kontekstual kepada siswa, mengajak siswa untuk belajar dengan
kehadiran penuh dan well being. Namu nada beberapa kompetensi yang masih harus
saya perbaiki yaitu membersamai dengan mindfulness.
Kompetensi Inti
Coaching: (1) Mengajukan pertanyaan berbobot adalah mengajukan pertanyaan
dengan tujuan tertentu atau pertanyaan berbobot.
Pertanyaan yang diajukan
seorang coach diharapkan menggugah orang untuk berpikir dan dapat menstimulasi
pemikiran coachee, memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan
sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan yang dapat mendorong
coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan kompetensi.
(2) Mendengarkan dengan
aktif adalah kemampuan untuk fokus pada apa yang dikatakan oleh lawan bicara
dan memahami keseluruhan makna yang tidak terucap.
(3) Kehadiran penuh
(presence) adalah kemampuan untuk bisa hadir utuh pada coachee, atau di dalam
coaching disebut sebagai coaching presense sehingga badan, pikiran, hati,
selaras saat sedang melakukan percakapan coaching. Kehadiran penuh ini adalah
bagian dari kesadaran diri yang akan membantu munculnya paradigma berpikir dan
kompetensi lain saat kita melakukan percakapan coaching.
Alur Percakapan TIRTA:
Tirta berarti air. Air mengalir dari hulu ke hilir. Jika kita ibaratkan murid
kita adalah air, maka biarlah ia merdeka, mengalir lepas hingga ke hilir
potensinya. Sebagai seorang coach salah satu peran terpentingnya adalah
membantu coachee.
TIRTA terdari dari
Tujuan awal dimana kedua pihak coach dan coachee menyepakati tujuan pembicaraan
yang akan berlangsung. Idealnya tujuan ini datang dari coachee. Identifikasi
dimana coach melakukan penggalian dan pemetaan situasi yang sedang dibicarakan,
dan menghubungkan dengan fakta-fakta yang ada pada saat sesi.
Rencana Aksi dimana
pengembangan ide atau alternatif solusi untuk rencana yang akan dibuat.
Tanggungjawab dimana membuat komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk langkah
selanjutnya.
Supervisi Akademik
dengan Paradigma Berpikir Coaching: Dalam pelaksanaannya ada dua paradigma
utama dalam menjalankan proses supervisi akademik yang memberdayakan, yakni
paradigma pengembangan kompetensi yang berkelanjutan dan optimalisasi potensi
setiap individu.
Prinsip supervisi
akademik dengan paradigma berpikir coaching meliputi kemitraan, proses
kolaboratif antara supervisor dan guru, konstrukti bertujuan mengembangkan
kompetensi individu, terencana, reflektif, objektif, informasi diambil
berdasarkan sasaran yang sudah disepakati, berkesinambungan, komprehensif:
mencakup tujuan dari proses supervisi akademik.
Sedangkan pelaksanaan
supervisi akademik didasarkan pada kebutuhan dan tujuan sekolah dan
dilaksanakan dalam tiga tahapan, yakni perencanaan, pelaksanaan supervisi, dan
tindak lanjut. Tahap perencanaan, supervisor merumuskan tujuan, melihat pada
kebutuhan pengembangan guru, memilih pendekatan, teknik, dan model, menetapkan
jadwal, dan mempersiapkan ragam instrumen.
Dalam tahapan
pelaksanaan supervisi akademik adalah observasi pembelajaran di kelas atau yang
biasanya kita sebut sebagai supervisi klinis. Tahap tindak lanjut, berupa
kegiatan langsung atau tidak langsung seperti percakapan coaching, kegiatan
kelompok kerja guru di sekolah, fasilitasi dan diskusi, serta kegiatan lainnya
dimana para guru belajar dan memiliki ruang pengembangan diri lewat berbagai
kegiatan.
Keterkaitan materi modul
2.1 tentang Pembelajaran Berdiferensiasi dan modul 2.2 tentang Pembelajaran
Sosial Emosional (PSE), jika dihubungkan dengan materi coaching maka
pembelajaran berdiferensiasi dimana guru harus berusaha semaksimal mungkin
untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa yang terdiri dari kesiapan belajar,
minat belajar, dan profil belajar siswa.
Langkah untuk memetakan
kebutuhan individu siswa tersebut, guru bisa berperan sebagai coach untuk melakukan
proses coaching dengan siswa sebagai coachee. Hal tersebut mampu mengoptimalkan
potensi yang ada dalam diri siswa sehingga akan menemukan cara terbaik dalam
memenuhi kebutuhan individu siswa.
Pembelajaran Sosial
Emosional (PSE) yang harus dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas
sekolah untuk menumbukan kompetensi tentang kesadaran diri, manajemen diri,
kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang
bertanggung jawab pada diri siswa. Proses coaching sejalan dengan PSE karena
kompetensi sosial emosional tersebut dapat diterapkan oleh guru dalam proses
coaching kepada siswa.
Keterkaitan keterampilan
coaching dengan pengembangan kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran. Terdapat
4 macam paradigma berpikir coaching, yaitu: (1) fokus pada coachee (rekan yang
akan dikembangkan, (2) bersikap terbuka dan ingin tahu, (3) memiliki kesadaran
diri yang kuat, dan (4) mampu melihat peluang baru dan masa depan.
Juga 3 kompetensi inti
yang penting dipahami, diterapkan, dan dilatih secara terus menerus saat
melakukan percakapan coaching kepada teman sejawat di sekolah, yaitu: (1)
kehadiran penuh (presence), (2) mendengarkan aktif (menyimak), dan (3)
mengajukan pertanyaan berbobot.
Salah satu referensi
yang dapat kita gunakan untuk mengajukan pertanyaan berbobot hasil dari
mendengarkan aktif yaitu RASA yang diperkenalkan oleh Julian Treasure.
RASA merupakan akronim
dari Receive, Appreciate, Summarize, dan Ask. Dimana R (Receive/Terima), yang
berarti menerima/mendengarkan semua informasi yang disampaikan coachee.
Perhatikan kata kunci yang diucapkan.
A
(Appreciate/Apresiasi), yaitu memberikan apresiasi dengan merespon atau
memberikan tanda bahwa kita mendengarkan coachee. Respon yang diberikan bisa
dengan anggukan, dengan kontak mata atau melontarkan kata. Bentuk apresiasi
akan muncul saat kita memberikan perhatian dan hadir sepenuhnya pada coachee
tidak terganggu dengan situasi lain.
S (Summarize/Merangkum),
saat coachee selesai bercerita rangkum untuk memastikan pemahaman kita sama.
Perhatikan dan gunakan kata kunci yang diucapkan coachee.
A (Ask/Tanya), coach
mengajukan pertanyaan berbobot berdasarkan apa yang didengar dan hasil
merangkum (summarizing), membuat pemahaman coachee lebih dalam tentang
situasinya, hasil mendengarkan yang mengandung penggalian atas kata kunci atau
emosi yang sudah dikonfirmasi, dan pertanyaan terbuka: menggunakan apa,
bagaimana, seberapa, kapan, siapa atau di mana dan hindari menggunakan
pertanyaan tertutup: “mengapa” atau “apakah” atau “sudahkah”.
Jika keterampilan
coaching sudah meningkat maka pengembangan kompetensi guru sebagai pemimpin
pembelajaran akan meningkat pula. Percakapan-percakapan coaching membantu para
guru berpikir lebih dalam (metakognisi) dalam menggali potensi yang ada dalam
diri dan komunitas sekolahnya sekaligus menghadirkan motivasi internal sebagai
individu pembelajar yang berkelanjutan yang akan diwujudnyatakan dalam buah
pikir dan aksi nyata demi tercapainya kualitas pembelajaran yang berpihak pada
murid.