TUNTUTLAH ILMU
APAPUN YANG TERJADI.
"Dr. Khairul Fitrah"
Siang menjelang sore semalam sesuai jadwal yg telah di tetapkan oleh adik-adik mahasiswa yang tergabung dalam LDK (lembaga dakwah kampus) tempat dimana saya perna kuliah dulu, saya diminta mengisi materi via zoom terkait dauroh yg mereka lakukan pada hari itu.
Sebagai mantan ketua umum lembaga dakwah kampus pada masanya tidak enak rasanya menolak atas permintaan tsb, bagi saya ini adalah ajang silaturrahmi dengan adek-adek mahasiswa yg jauh dibawah saya.
Saya hanya bercerita terkait dengan kewajiban kita menuntut ilmu, apapun kondisi dan situasi kita hari ini.
Kalau alasan kita berhenti belajar karena sulit memahami pelajaran, maka ingatlah kisah Ibnu Sina. Beliau membaca kitab "Ma Ba'da Thabiah" milik Aristoteles sebanyak 40 kali, hingga hafal lafaznya tapi tak satu permasalahan pun beliau pahami, bahkan beliau tak paham apa tujuan penulis menulis buku itu. Hampir-hampir putus asa.
Lalu ketika beliau berjalan ke toko buku bekas, ditawari buku karangan al-Farabi, awalnya sinis, merasa ilmu yang dibaca tidak ada manfaatnya, tapi karena bukunya dijual murah, hanya tiga dirham, akhirnya beliau beli. Ketika beliau membaca buku itu, tiba-tiba semua kerumitan buku Aristoteles terbuka, beliau akhirnya paham, dan menjadi Imam dalam Filsafat. ( Kita tidak tahu kapan Allah akan bukakan pemahaman, tapi ia dekat bagi yang selalu berusaha.)
Al-Farabi, yang bukunya membuka pemahaman Ibnu Sina lebih dahsyat lagi, membaca kitab Nafs-nya Aristo sebanyak 200 kali, Kitab Assama' ath-Thabii 40 kali. Pantas saja beliau mampu menyederhanakan Kitab Ma waraat thabiah, Buku-buku Aristo sudah mendarah daging bagi beliau. Beliau Pandai 70 bahasa asing (Shafahat Min Shabril Ulama)
Ketika kita ingin berhenti belajar karena keterbatasan ekonomi, Maka ingatlah Syaikhul Islam Zakaria al-Ansari. Yang pergi ke Al-Azhar tanpa kenal siapapun, beliau sering kali ketika lapar ketika tengah malam, keluar masjid, mengumpulkan kulit semangka yang dibuang di dekat tempat wudhu, dibersihkan lalu dimakan. Berkat kesabaran ini akhirnya beliau menjadi Mujaddid, Syaikhul Islam. ( Thabaqat al-Kubra, Imam Sya'rani)
Kalau alasan kita berhenti menuntut ilmu karena diminta orang tua untuk segera bekerja, maka ingatlah cerita Syaikh Hasan al-Atthar, yang secara diam-diam memanfaatkan "waktu luang" kabur dari kedai haruman ayahnya untuk menghafal dan belajar di Al-Azhar.
Setelah kepergok oleh ayahnya, ternyata al-Atthar kecil sudah hafal al-Quran, ayahnya terharu lalu mati-matian membiayai belajar al-Atthar. Hingga jadilah Syaikh al-Atthar Syaikhul Azhar, setiap anggitannya selalu menjadi rujukan utama. Hingga menjadi perumpamaan jika ada permasalahan yang sangat sulit dipecahkan, "bahkan Syaikh al-Atthar pun tak akan dapat memecahkan masalah ini." Ia jadi perumpamaan bagi ketajaman berfikir. (Nawabig Fikr al-Arabi : Hasan al-Atthar)
Kalau alasan kita ingin berhenti belajar karena yatim piatu, maka ingatlah Syaikh Ahmad Zarruq, yang hidup sejak kecil dibawah didikan neneknya.
Neneknya mengajarkan iman, tauhid dan tawakkal dengan cara unik. Beliau menyiapkan makanan, lalu diletakkan dipojok rumah. Ketika beliau datang untuk makan sang nenek bilang : "Aku tak punya apa-apa, berdoalah, rejeki semuanya ada pada perbendaharaan Allah. maka Syaikh Zarruq kecil pun berdoa, selesai berdoa neneknya berkata: lihatlah dipojok-tiang rumah, siapa tahu ada makanan, rejeki itu tersembunyi, kita berusaha mencarinya." Ketika ketemu makanannya, Zarruq kecil sangat senang dan bertambah keyakinannya pada Allah. Sebelum makan nenek bilang; "Ayo bersyukur, supaya Allah menambah rejeki kita."
Nenek beliau sering bercerita tentang mukjizat Rasulullah, peperangan Nabi, Karamat para aulia, ahlu tawakkal, orang-orang yang hanya mengharap ridha Allah. Maka jadilah Syaikh Zarruq Imamnya para Sufi, karya dan Ahwalnya sangat masyhur. (Syarah Wazifah Zarruqiyah, Syaikh Ahmad Sujai)
Kalau yang membuat kita berhenti belajar karena belum dikaruniai pasangan; maka ingatlah Imam Nawawi, Imam Thabari, al-Qifthi, Syaikh Ibn Taimiyah, Imam Asysyirazi dan banyak lagi, mereka mampu menjadi Imam meskipun tak ada yang mendampingi (Ulamaul Uzzab alladzina astarul ilma alaz zawaj)
Kalau alasan kita berhenti belajar karena punya kesibukan mengurus organisasi, sibuk karna jabatan di organisasi, Maka ingatlah Syaikh Taqiyuddin Assubki yang mampu mendidik Syaikh Tajuddin Assubki. Atau Ingatlah Syaikh Arsyad al-Banjary yang hampir semua keturunannya menjadi ulama. Atau KH. Maimoen Zubair, anak-anaknya semua menjadi alim.
Kalau kita ingin berhenti belajar karena ini maka ingatlah syaikh Fulan, ingatlah syaikh Fulan. Kalau seperti ini, ingatlah Syaikh ini.
Kita sama dengan mereka. Bedanya; mereka lebih gigih, pantang menyerah, dan selalu berusaha.
Semoga Allah merahmati para ulama kita dan selalu membimbing kita di jalan Ilmu.
Amiiin !!!