Pendidikan yang Memerdekakan
Pada momentum peringatan ke-65 proklamasi kemerdekaan ini, para stakeholder sekaligus seluruh bangsa kita perlu melakukan refleksi kritis. Refleksi itu menyangkut apa saja yang sudah dilakukan untuk bangsa, sembari memikirkan solusi terbaik. Tidak kalah pentingnya, perlu dilakukan penyegaran sekaligus pembaruan model peringatan kemerdekaan; dari sekadar seremonial tanpa makna menjadi spirit yang membangun semangat nasionalisme dan kebangsaan. Pembaruan dan penyegaran juga amat urgen dilakukan dalam membenahi sistem pendidikan bangsa. Mengapa? Karena di samping pendidikan merupakan aspek paling penting bagi pembentukan sumber daya manusia, praktik pendidikan bangsa ini disinyalir mulai melenceng dari cita-cita kemerdekaan.
Dahulu, para tokoh bangsa seperti, RA Kartini, R Dewi Sartika, KH Ahmad Dahlan, Ki Hadjar Dewantara, Teuku Moh Syafei, dan sebagainya, mempergunakan pendidikan sebagai wahana untuk menanamkan jiwa merdeka dan semangat nasionalisme kepada anak didiknya. Ki Hadjar Dewantara misalnya, mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, dengan tujuan ingin menumbuhkan kesadaran esensial bangsa ini. Kesadaran bahwa bangsa ini memiliki harkat, martabat yang sejajar dengan bangsa merdeka lain, dan harapan untuk lepas dari ketiak penjajahan. Bagi Ki Hadjar, pendidikan merupakan wahana yang efektif dan mujarab bagi penyadaran kritis itu. Singkatnya, para bapak bangsa ini mempergunakan pendidikan sebagai wahana membangun manusia seutuhnya; yang memiliki karakter luhur, berjiwa patriot, nasionalisme, dan sebagainya.
Sejarah kemudian mencatat betapa model pendidikan berjiwa merdeka itu membidani lahirnya organisasi-organisasi dan pergerakan kemerdekaan seperti Budi Oetomo (1908), Perhimpunan Indonesia (1926), dan puncaknya dengan dicetuskan Sumpah Pemuda (1928). Pada masa perang kemerdekaan dan revolusi untuk mempertahankannya, generasi muda yang terpelajar itu bukan sekadar mampu untuk merancang organisasi atau menjadi aktivis, tetapi mereka juga memiliki keberanian dan strategi untuk membangun kekuatan bersenjata yang dikenal dengan sebutan Tentara Pelajar (TP).
Dikebiri
Namun sayang, era pascakemerdekaan hingga saat ini, model pendidikan paripurna yang menumbuhkan jiwa kebangsaan dan perasaan merdeka itu, dicerabut dan dikebiri oleh para stakeholders bangsa ini. Bukannya menjadi sarana memerdekakan peserta didik, tetapi sistem pendidikan saat ini secara jujur telah membelenggu, memenjarakan, bahkan menindas. Pendidikan yang mestinya mampu menjadi ruang ekspresi, imajinasi dan wahana pembangun kreativitas, justru menjadi ruang sempit; lantaran mengejar capaian portofolio, standar kompetensi yang kental unsur kognitif.
Para stakeholder pendidikan memang seolah-olah menjadi pahlawan, atau seolah-olah memihak 'wong cilik' ketika berebut tender/proyek. Namun, ketika diminta tanggung jawab aplikasi softwere pendidikan yang gagal, mereka saling menyalahkan. Seperti pada kasus kurikulum, ujian nasional, sertifikasi guru, sekolah bertaraf internasional (SBI/RSBI) dan sebagainya. Para 'pahlawan' pembuat softwere itu selalu menjelek-jelekkan pendahulu, sementara formula yang dibuatnya justru lebih amburadul.
Pada level tinggi pembuat kebijakan pendidikan, budaya buruk bongkar-pasang sistem dan kebijakan terus terulang setiap menteri baru. Model pergantian yang amat instan ini, jelas tidak relevan bagi korpus pendidikan. Jika aspek lain seperti pembangunan infrastruktur fisik mungkin ada baiknya, tetapi pendidikan adalah sesuatu yang berbeda. Akibatnya, pemerintah meminjam istilah Doni Koesoema (2008), justru menciptakan miopi pendidikan, atau sebuah keadaan di mana perubahan dalam pendidikan (educational change) dilakukan hanya demi kepentingan sesaat, memenuhi keinginan jangka pendek, mengejar hasil yang bisa langsung dilihat, tetapi mengorbankan kinerja dunia pendidikan dalam jangka panjang.
Seyogianya, terjalin kesinambungan program antara pucuk pimpinan lama dan yang baru. Benar pimpinan baru dituntut kreativitas serta ide-ide baru, tetapi kebijakan lama yang sifatnya masih bagus dan relevan mestinya juga tetap dipertahankan. Proses kesinambungan program dan kebijakan jelas berdampak positif bagi manajemen pendidikan kita, tetapi jika yang terjadi sebaliknya justru semakin memperburuk arah pelaksanaan manajemen itu. Dilihat dari aspek filosofis, pendidikan yang mestinya dimaknai secara luas, ternyata hanya dipahami sebagai proses formal, sekadar proses alih pengetahuan. Akibatnya pendidikan tidak mampu lagi menjadi sarana liberasi, yakni sebagai sebuah proses kerja kreatif dan responsif untuk memerdekakan dan memberdayakan para pelajar. Pendidikan kita bahkan menampakkan wajah yang berbeda; beringas dan menyeramkan. Seperti temuan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), yang menyebutkan bahwa kekerasan pada anak di sekolah terus meningkat setiap tahun minimal 10%.
Pada aspek pembiayaan, pendidikan kita semakin tak terjangkau rakyat miskin. Benar undang-undang badan hukum pendidikan (BHP) telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Tetapi, pihak perguruan tinggi (PT) tetap membuat undang-undang pengganti BHP yang sejenis. Akibat sistem yang dikebiri, serta model kebijakan yang berubah-ubah itu, pendidikan bangsa laksana kapal tanpa nakhoda yang berputar-putar tanpa progres tetapi malah karam. Maka sangat tepat komentar Amien Rais (2008), mengenai output atau lulusan pendidikan kita. Mereka, kata Amien Rais, kebanyakan bermental buruk; inlander, penjilat dan gemar korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Spirit kemerdekaan
Sebelum pendidikan bangsa ini benar-benar menjadi kapal karam, sebelum budaya buruk mewaris kepada generasi muda, dan sebelum masa depan bangsa menjadi suram, landasan filosofi pendidikan harus diperbaiki. Bangsa ini harus mengambil semangat dan spirit para pendahulu dan bapak bangsa guna merancang model pendidikan berjiwa merdeka.
Menurut Romo Mangun (2003:69), sistem pendidikan berjiwa merdeka itu dahulu sangat mengutamakan kedisiplinan, kejujuran, dan kreativitas di samping penguasaan terhadap bahasa asing. Konon, dahulu untuk memupuk kreativitas itu, anak didik setiap minggu disuruh membuat karangan ilmiah ringkas. Tema yang diangkat sangat sederhana, dan sesuai konteks saat itu.
Kegiatan membuat karangan itu memaksa siswa belajar observasi, atau istilah sekarang mengumpulkan data, menyusunnya secara sistematis, dan menganalisis data tersebut dengan pendapat pribadi. Kejujuran dan kebenaran sangat diutamakan. Maka, siswa yang kedapatan melakukan duplikasi, hukumannya dikeluarkan dari sekolah. Selain itu, siswa dituntut berprinsip 'lebih baik saat ini tidak bisa menjawab, dari pada menyontek atau membeo'. Singkatnya, keruntutan logika dan moralitas menjadi dasar mendidik siswa saat itu. Tidak heran jika dahulu, siswa di tingkat dasar sudah kreatif membuat berbagai tulisan dan karya ilmiah. Bandingkan dengan siswa kita sekarang! Jangankan siswa SD, mahasiswa S-1, bahkan doktor (S-3) kita miskin dengan karya ilmiah.
Memang tidak tepat memang, membandingkan masa lalu dengan masa sekarang, karena setiap zaman atau setiap generasi memiliki kelebihan dan kesulitan masing-masing. Hanya saja, jika sistem pendidikan lama itu ternyata lebih relevan dengan konteks kekinian, bukankah tidak salah jika kita mencontohnya? Maka, spirit pendidikan berjiwa merdeka itu setidaknya bisa diwujudkan paling tidak dalam dua hal. Pertama, dalam sistem pendidikan yang diwujudkan dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan dan egalitarianisme, dalam menyusun visi dan tujuan pendidikan, desain konsep pembelajaran, metode pengajaran, kurikulum, biaya sekolah, peningkatan karier dan gaji guru. Kedua, dalam praktik pendidikan dengan mengimplementasikan spirit kemerdekaan dalam seluruh proses pembelajaran; interaksi antara siswa dengan guru, sesama guru, dan antarsiswa. Misalnya melalui pengajaran yang kontekstual, dialog dan presentasi, pelajaran yang interaktif dan partisipatoris, penilaian yang transparan, dan sebagainya.
Pendidikan berjiwa merdeka juga kental dengan penanaman sikap kritis pada anak didiknya. Akhirnya, dari model pendidikan merdeka ini diharapkan terlahir manusia-manusia kritis yang mampu melihat aneka tantangan dari zamannya, berani membicarakan berbagai masalah lingkungan, dan ikut menangani lingkungannya. Mereka akan terasah kuriositas intelektual, kematangan emosional, dan kejernihan spiritual anak didik. Oleh: Agus Wibowo (Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta)
Posting Komentar
Komentar ya