Hang Nadim
Sosok laksamana yang memiliki kisah heroik luar biasa, hingga dituturkan turun temurun hingga kini.
Penamaan Bandara Hang Nadim sendiri, diambil dari nama seorang tokoh bersejarah era Kerajaan Malaka.
Dikisahkan, Hang Nadim yang terlahir sebagai anak yatim, merupakan putra satu-satunya Hang Jebat dari istri Dang Wangi atau Dang Inangsih.
Awalnya Hang Jebat termasuk salah satu sahabat Hang Tuah, yang menjadi pengabdi di Kerajaan Malaka pada kekuasaan Sultan Mahmud Shah.
Namun, dia dibunuh oleh Hang Tuah karena punya suatu kesalahan pada Kerajaan Malaka.
Sementara itu, Dang Wangi yang masih mengandung anak Hang Jebat, diminta oleh Hang Tuah bersembunyi ke Tumasek/Tumasik atau Singapura untuk menghindari hukuman dari Sang Sultan.
Hang Tuah yang merasa punya tanggung jawab pada keluarga Hang Jebat, kelak meminta bayi yang dilahirkan oleh Dang Wangi dan mengangkatnya sebagai anak.
Anak yang kemudian diberi nama Hang Nadim itu, dibesarkan dan dididik oleh Hang Tuah hingga dewasa.
Saat dewasa, Hang Tuah menikahkan Hang Nadim dengan putri kandungnya sendiri yang bernama Tun Emas Jiwa.
Dari pernikahan itu, Hang Nadim dikaruniai anak perempuan yang diberi nama Tun Mata Ali.
Ketika Kerajaan Malaka kalah melawan penjajah Portugis, Hang Nadim selalu berupaya untuk mengembalikan kejayaan kerajaan seperti sedia kala.
Dia bertekad penuh, untuk merebut kembali Malaka dari penguasaan Portugis.
Julukan Lang-Lang Laut
Laksamana Hang Nadim dalam mengabdi pada Kerajaan Malaka, juga mendapat julukan sebagai Lang-lang Laut.
Julukan itu disematkan kepadanya, karena tugasnya berpatroli mengamankan wilayah selat Kerajaan Malaka.
Selain itu, juga ada burung elang yang selalu menemani di kapal Hang Nadim saat berlayar.
Portugis yang masih memiliki kekuatan besar pada masa itu, terus melakukan ekspansi wilayah kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara.
Mereka berhasil menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Malaka di Kota Kara. Sultan Mahmud pun tak bisa mengelak dari pertempuran.
Namun Sultan Mahmud berhasil menyelamatkan diri bersama keluarganya, beserta aset penting kerajaan seperti pusaka, perak, dan emas sebelum pasukan Portugis membumihanguskannya.
Berkat bantuan orang-orang dari Suku Pedalaman dan Orang Sakai, Sang Sultan dapat mengevakuasi keluarga dan aset kerajaannya sampai di daerah Kampar.
Hang Nadim wafat di masa tuanya dan dikebumikan di suatu daerah Pulau Bintan Kepulauan Riau (Kepri).
Baru-baru ini, makam Hang Nadim ditemukan dan diyakini berlokasi di Roco Busung, kawasan pedalaman yang tak jauh dari Desa Busung, Kecamatan Seri Kuala Lobam, Kabupaten Bintan.
Semangat Hang Nadim dalam kisah sejarah Melayu secara turun temurun, menginspirasi generasi Melayu di Batam dan Kepri pada umumnya.
Tidak heran, jika nama Hang Nadim diabadikan jadi penanda bandara internasional di Batam.