Melihat fenomena pola permainan anak-anak pinggiran kota pada saat ini, membuat kita perlu mengkaji ulang sejauh mana perencanaan yang kita buat, apakah sudah mengakomodir seluruh lapisan warga kota atau belum, bahkan trend inipun sudah mulai menggejala ke pusat kota, kadangkala sering kita lihat anak-anak kota ini bermain layang-layang di jalan raya, saya harap para pembaca jangan cepat membentaknya, kenapa ? karena ruang bermain mereka tidak terakomodir oleh perencanaan kota, yang mulai rakus pada ruang-ruang publik kota ini, sehingga persedian ruang tersebut, makin hari makin berkurang saja, sementara di pinggir kota ada ruang-ruang kosong, tapi konon kabarnya telah dimiliki pula oleh para penguasa kota (penjabat) dan konglomerat yang senang membuat lahan tidur, lantas dibangun saat sudah dibutuhkan saja. Alhasil setiap tanah kosong di pinggir kota sudah tertulis tanah ini milik, Purnawirawan aparat ini dan itu, anggota dewan ini dan itu, bahkan milik khon chiang aang, sang konglomerat kota yang rakus mengapling tanah pinggiran kota.
Saya ingin menyampaikan sedikit pengalaman menarik saya ketika berkunjung ke pinggiran Kota Pekanbaru, saya melihat beberapa orang anak sedang bermain dengan senangnya di rawa-rawa, sambil berenang dalam lumpur yg kental warna airnya, ibarat dalam sebuah filem masa muda dulu "bernafas dalam lumpur". Tapi kondisi ini beda dengan filem tahun 80an yang saya katakan diatas, karena para pelakon disini adalah anak anak yang masih kecil setara anak anak SD, mereka bermain dalam boncah (air berlumpur) tersebut, tanpa menghiraukan saya memotretnya dengan kamera seadanya, bahkan dengan senang mereka bergaya, menari, dan ber-akting dengan gaya seakan-akan pelakon betulan dalam filem “maongok dalam boncah” tersebut.
Sedikitpun tidak ada rona kesedihan di wajah mereka, mereka bahagia, mereka bergurau, saling dorong bagaikan kawan bergelut dalam kolam renang betulan. Setelah saya lakukan potret memotret, sayapun ibarat wartawan profesional mewawancarainya "adek, kenapa kalian mau berenang di air kotor begini" kata saya. "memangnya kenapa bang, yang penting dunia bermain kami terpenuhi, tak peduli itu kotor atau bersih menurut abang, tapi kami tak ada merasakan itu" katanya polos. Sayapun tertunduk kaku, mendengarkan jawabannya, "apalagi mau ke “matahari” (red; Plaza matahari) kami tak ada uang, kalaupun ada sedikit uang, lantas pakai apa kami kesana, SAUM-pun sekarang sudah bayar, padahal kemarin pernah gratis, rupanya hanya beberapa hari saja (gombal promosi), sekarang harus pakai karcis, dan lagi hampir semua tempat bermain di kota ini, tidak layak anak miskin seperti kami ini, karena harus pakai karcis, dan itu artinya uang khan bang???" katanya melanjutkan bualannya, dan saya pun hanya bisa tertunduk sedih mendengarkan semua itu.
Lantas anak itu melanjutkan bicaranya "tapi kami semua sudah cukup puas dengan cerita dari tetangga kami, anak penjabat kota ini yang bercerita pada kami sewaktu MDA gratis, dekat Masjid rumah kami, jadilah cerita itu sebagai alat menghayalkan tempat ini, untuk bermain serupa di “matahari” tersebut, sebenarnya kami rindu akan matahari" katanya dengan mata berkaca-kaca, sambil membayangkan yang tak mungkin mereka rasakan, karena bapaknya hanyalah seorang pencari barang bekas, pembantu di rumah penjabat atau konglomerat, yang tiada waktu untuk hari libur dan bersantai, apalagi membawa anak sekali seminggu ke matahari, membeli sigombuar ataupun sitara dan sebagainya, sebagai mainan dan makanan ringan kegemaran anak-anak pinggiran kota.
Sementara keluarga mereka hanyalah bermukim di atas tanah kosong sebagai tabungan investasi milik para orang kaya, atau penjabat yang menyimpan uang dalam bentuk investasi tanah di pinggir kota besar ini. Karena tanah di Kota Pekanbaru sudah menjadi alat spekulasi, yang menguntungkan masa depan orang yang berduit, dan mematikan ruang bagi yang miskin papa di kota yang kurang ramah dengan warga miskin ini. Setelah mereka pergi meninggalkan saya untuk bermain lagi, saya menatapnya dengan tajam dari kejauhan, mereka terhibur dengan cara mereka masing-masing, tetapi lucunya tak satupun mereka penyakit kulit, sakit perut bahkan terluka, mereka memang bersahabat dengan alam, alampun memberi ruang terhadap mereka dengan leluasa, sungguh simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan kedua belah pihak, ibarat burung jalak dan kerbau di tengah sawah.
Memang kalau pembaca sekalian perhatikan, dan amati pada saat ini, tak ada satupun sarana bermain yang dapat mengakomodir masyarakat miskin kota pada stiap sudut kota dan kecamatan, kita rindu dengan penataan kota yang manusiawi, menjembatani semua kebutuhan warganya, tanpa melihat miskin atau kaya. Sudah sepantasnya kota ini menyediakan ruang-ruang publik dengan seksama, sehingga ruang privat bisa terkurangi, apalagi hal ini juga sesuai dengan amanah Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 tahun 2007 yang mengharuskan dengan tegas untuk pengadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) seluas minimal 30 % dari seluruh luasan kota manapun di Republik Indonesia ini. Artinya bisa saja ruang itu membengkak menjadi 40 bahkan 60%, tapi tak akan pernah boleh menyentuh pada angka 29% kebawah. Nah disinilah peran para Steakholder dalam pengaturan implementasi dari UU tersebut ke alam yang nyata, agar kota ini tetap berkelanjutan, ramah alam, ramah manusianya dan tentu ramah pula pada masyarakat miskin kota kaya ini.
Karena pada prinsipnya semua kita mempunyai hak yang sama dalam menikmati ruang yang ada di kota ini, setidaknya hal ini telah dituangkan dalam Pasal 2 UU 26/2007 “dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas: a. keterpaduan; b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; c. keberlanjutan; d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; e. keterbukaan f. kebersamaan dan kemitraan; g. pelindungan kepentingan umum; h. kepastian hukum dan keadilan… ”. Maka sesuai dengan yang dikatakan pada poin f kebersamaan dan kemitraan dalam arti fungsi yang multi, tergantung kita menanfsirkannya kemana, apalagi ada kalimat keadilan pada poin berikutnya, maka sudah selayaknya semua yang menghuni kota ini punya hak yang sama, untuk merebut penggunaan ruang yang layak tersebut, termasuk dunia anak-anak kota, dan awajar saja suatu ketika mereka bertanya “mana ruang bermain kami???”
bisa dilihat di Riau Pos 19/11/09
Oleh; Mardianto Manan
Posting Komentar
Komentar ya