PEDAGANG TEH TELUR YANG SERING KENA CIBIR ITU BERNAMA ENGKU RAOH
KALAU dicibir orang, dicemooh, diejek, dihina, sudah menjadi makan asam garam hidupnya Engku Raoh, pedagang teh telur di Simpang Lapan itu.
Tapi, semua dilakoninya dengan sabar dan syukur.
Di awal memulai karier bisnis teh telur, sebelum lepau di Simpang Lapan berdiri, Engku Raoh menjajakan minuman dagangannya itu dari pintu ke pintu, di pasar, dari satu tempat keramaian ke keramaian yang lain. Setiap hari.
Jangankan orang lain, sanak familinya, orang paling dekat, juga mencibir, “Sarjana kok menggalas teh telur. Seperti tak ada pekerjaan lain saja!”
Cibiran itu bukannya membuat Engku Raoh jatuh tapai, apalagi angkat bendera putih sebagai tanda kekalahan, melainkan semakin melecut semangatnya untuk lebih giat berusaha. Ia ingin menunjukkan lubang hidungnya kepada sanak familinya itu bahwa sukses bukan ditentukan oleh angka-angka kelulusan, sarjana atau tidak, tetapi tekad dan kemauan; kerja keras. Sebab hidup tidak perai!
Sebelum subuh ia sudah bangun, mempersiapkan barang dagangannya. Pagi-pagi sekali, setelah selesai sembahyang, sesudah bersih-bersih di tepian mandi, berangkatlah dia ke pasar. Kalau hari baik, dapat ia untung agak sedikit, untuk diputarnya kembali sebagai modal.
Namun, rugi tak pernah pula ia tolak, diterimanya dengan lapang dada, ikhlas, dan terus berprasangka baik pada takdirnya.
Lalu, minggu berjalan, berganti bulan. Tahun pun beranjak. Tuhan tidak menyia-nyiakan pengharapan hamba-Nya.
Setelah cukup modal, dari sedikit keuntungan yang ia tabung, dapat ia membeli sebidang tanah di Simpang Lapan. Dibangunnya lepau ketek, berdinding tepas, beratap ijuk. Dipasangnya merek: “Lepau Teh Telur Engku Raoh”.
Di lepau itulah ia mulai membangun kerajaan bisnisnya.
Tak disangka, dari lepau ketek itu pula, usahanya terus berkembang. Semakin banyak orang datang—salah duanya Engku Kari dan Engku Sut —yang minta dibuatkan teh telur, setiap hari. Disusul engku-engku lainnya yang sebelum turun ke sawah singgah di lepaunya.
Lambat laun, lepaunya semakin ramai, bahkan ia banyak menerima pesanan khusus untuk acara-acara rapat, maupun acara-acara helat.
Cibiran-cibiran yang dulu ia peroleh dari sanak familinya, bahkan kawan sepermainan selapik seketiduran, pun dari orang-orang yang meremehkannya, sudah jarang ia dengar sekarang. Entah, tidak tahu, di belakangnya. Namun, itu sudah tidak ia pedulikan lagi. Tak ada untung juga. Membuang waktu saja.
Fokusnya sekarang, bagaimana mengembangkan sayap bisnisnya, agar di setiap persimpangan, ada lepau teh telur.
Lepau-lepau itu akan dikelola karyawan-karyawannya, entrepeneur-entrepeneur muda yang ia didik agar tak cengeng, tangguh berusaha, tak bermental tapai, bahkan melebihi dirinya. Dan, tak heran, banyak surat lamaran datang dari pemuda-pemuda Gen Z kampung yang ingin bekerja di lepaunya.
Dari usahanya itu, Engku Raoh ikut membantu kepala kampung membuka lapangan kerja. Keren juga dia.
Engku Kari dan Engku Sut selalu mendoakan mudah-mudahan usaha teh telur Engku Raoh itu terus berkembang, sebab tak jarang kedua engku itu mendapat teh telur gratis terutama di hari Jumat, sebagai niat Engku Raoh bersedekah.
Kalau sudah dapat teh telur gratis itu, Engku Kari dan Engku Raoh mau ‘manggariak’ saja terus. Kalau berjalan kepala dan badan sudah seperti orang India, bergoyang-goyang kiri dan kanan.
Tapi hidup saling memberi saling menerima. Simbiosis mutualisme berlaku.
Tak jarang, di saat panen ladangnya di kaki Singgalang, Engku Kari dan Engku Sut membawa hasil panennya untuk Engku Raoh. Kadang hasil ladang itu lebih dari harga segelas dua gelas teh telur gratis yang diminum Engku Kari dan Engku Sut.
Hidup, indah sekali, kalau saling berbagi, apa pun bentuknya. Ada saatnya dijual, ada saatnya pula dihadiahkan. Keduanya sama-sama menciptakan kebahagiaan di hati.
Muhammad Subhan
Posting Komentar
Komentar ya