JADI PENULIS HARUS "TAHAN BANTING
BANYAK penulis, khususnya pemula, yang mundur di tengah jalan karena tidak mendapat dukungan dari orang-orang terdekat, terutama keluarga. Muncul sikap pesimis disertai pertanyaan yang menjadi momok: “Apakah saya benar-benar berbakat jadi penulis?”
Itu terjadi karena naskah (buku) yang ditulis disambut dingin pihak keluarga (orang tua, istri, suami, anak, saudara, dan lainnya).
“Oh, jadi penulis, ya?”
“Oh, bukunya sudah terbit? Bagus deh.”
“Kamu jadi penulis? Enggak salah?”
Sambutan yang benar-benar dingin. Brrrr!
Belum lagi persoalan penjualan buku setelah terbit, baik di penerbit mayor atau indie. Jangan disangka, buku yang terbit di penerbit mayor (konvensional) dalam waktu sekejap bisa “ludes” terjual di toko buku. Setiap buku akan bersaing “menebar pesona” bersama ratusan bahkan ribuan buku lain di rak toko buku. Maka, yang terjual habis dan best seller adalah buku-buku yang promosinya bagus, isinya bagus, sampulnya bagus, dan “penulisnya bagus” (populer; produktif dan dikenal).
Penulis sekaliber Andrea Hirata, Tere Liye, Habiburrahman el-Shirazy—sekadar menyebut beberapa nama—apa pun buku yang mereka tulis, alamat dicari dan ditunggu pembaca. Itu terjadi karena “popularitas” yang sudah mereka dapat.
Nah, sedangkan penulis pemula?
Baru menerbitkan buku semangatnya sudah dipatahkan orang-orang terdekat, khususnya keluarga. Ditambah lagi kalau mentalnya lemah; cengeng, peiba hati, dan suka menahan-nahan perasaan sampai jerawatan. Makin terpuruklah dia di lembah kesedihan dan tak sedikit memilih “mundur” dari dunia kepenulisan. Potret itu banyak saya lihat.
Kenapa demikian?
Sebenarnya hal itu tidak harus terjadi jika setiap penulis (pemula) meluruskan niat, kembali kepada tekad dan semangat semula, disertai pertanyaan, “untuk apa menulis?” Mencari uang? Popularitas? Biar dianggap hebat sebagai sastrawan, penyair, cerpenis, novelis? Atau berniat semata untuk berbagi ilmu dan pengalaman kepada orang lain plus menyebarkan manfaat seluas-luasnya lewat karya (tulisan)?
Jika jawaban pertama yang dipilih, sudah pasti salah jalan. Ingat, tidak ada jalan pintas mendapat kekayaan (uang) dalam waktu sekejap mata. Penulis-penulis sukses adalah mereka yang telah bertungkus lumus melalui jalan panjang dalam proses kreatif kepenulisannya; berliku, penuh onak dan duri, menguras air mata, diimpit beban ekonomi, mental, dan perasaan, bahkan menerima ancaman penghilangan nyawa dari orang-orang yang berseberangan pemikiran dengan mereka. Tidak sedikit yang dipenjara, diculik, dibunuh, dan segala perbuatan keji lainnya yang mereka hadapi karena konsekuensi memilih jalan sebagai penulis.
Bacalah biografi penulis-penulis dunia yang meraih nobel, kita akan dibuat takjub, ternyata menjadi penulis sukses tidak benar-benar mudah seperti dibayangkan.
Nah, jika niat menjadi penulis karena ingin menebar manfaat kepada banyak orang, lewat buku, maupun karya-karya tertulis lainnya, jalan yang ditempuh sudah benar. Seorang penulis tidak peduli apakah karyanya menghasilkan sesuatu secara materi atau tidak. Dia tidak peduli apakah bukunya akan memperoleh apresiasi atau tidak. Dia siap dikritik, siap dicaci maki, bahkan siap difitnah dan dimusuhi. Dia tidak peduli semua itu, dan sampai kapan pun dia akan tetap menulis, dan terus berbagi kebermanfaatan kepada semua orang lewat kata-kata.
Bukankah setiap karya akan punya nasibnya sendiri?
Apa dampaknya?
Tentu, dia akan menjadi penulis tahan banting, istikamah, kuat, teguh pendirian, tidak cengeng, apalagi sampai terpuruk dan mengangkat bendera putih sebagai tanda kekalahan.
Dampak lebih luas atas kekonsistenannya itu, dia dikenal sebagai penulis yang selalu ditunggu tulisan-tulisannya oleh pembaca, sekurang-kurangnya pembaca yang menyukai karya-karyanya. Yang tidak suka tidak perlu dipikirkan, dan percayalah setiap penulis mempunyai pembacanya sendiri.
Nah, bagaimana agar sebuah karya tetap diminati walau orang-orang terdekat seperti keluarga bersikap dingin, acuh tak acuh, dan tidak peduli?
Banyak jalan ke Roma, dan itu bisa dimulai dari diri sendiri.
Anggaplah buku yang ditulis dan terbit (baik di penerbit mayor maupun indie) itu adalah “bayi” yang dilahirkan. Tentu, jangan dibuang “bayi” itu jika ia tidak mendapat sambutan orang-orang sekitar di hari kelahirannya. Sebagai orang tua yang baik dan penyayang, si penulislah yang menyambutnya, merawat, dan membesarkannya, dan mengantarkannya ke puncak sukses.
Jika “bayi” buku itu cacat, buruk rupa, tidak sempurna, “rawat” ia dengan cara-cara sempurna.
Bagaimana bentuk perawatan itu?
Lakukan editing kembali, baca ulang berkali-kali, perhatikan kesalahan ketik, tata bahasa, penggunaan EYD, logika cerita, dan hal-hal lain yang dapat menyempurnakannya—walau sesungguhnya tidak ada karya yang benar-benar sempurna. Kemahasempurnaan hanya milik Tuhan (Allah Swt.).
Setelah karya itu lahir, jangan sungkan mempromosikannya. Dengan berbagai cara, baik di media massa maupun di media sosial. Dapat pula menggagas acara peluncuran buku. Diskusi buku, dan bentuk-bentuk lain yang membuat buku itu populer. Memang, sejatinya jualan buku adalah urusan penerbit, tetapi di era medsos hari ini, penulis juga turut berperan berjualan agar bukunya lekas terjual habis. Tidak zamannya lagi penulis ongkang kaki sekadar menunggu royalti. Kalau buku tak terjual, royalti apa yang bisa diberi?
Mengumpulkan endors dan menulis di blog juga efektif untuk mempromosikan buku. Bermain iklan di medsos juga demikian, meski si penulis harus mengeluarkan uang untuk membayar iklan sehingga jangkauan promosinya luas. Tapi itu juga pilihan; beriklan atau tidak. Dulu saya juga melakukan itu, tetapi sekarang memilih tidak, sepanjang medsos masih gratis penggunaannya. Sebagai sebuah pilihan, sah saja dilakukan atau tidak. Yang penting setiap ada karya baru, jangan sungkan memanfaatkan medsos untuk promosi. Kecanggihan teknologi hari ini tidak ditemukan di zaman lampau. Manfaatkan semaksimal mungkin.
Kesimpulannya, jadi penulis harus paham marketing dan "tahan banting". Penulis hakikatnya adalah orang yang “berjualan” kata-kata. Sebagai penjual yang baik, seorang penulis harus mengerti dan mengenal siapa calon pembelinya. Dia harus pandai melobi, merayu, membujuk, dan melakukan apa pun yang dapat mengenalkan karyanya ke publik secara luas, walau tidak selalu berimbas materi.
Semakin dikenal karyanya di mata dan telinga publik, alamat semakin besar peluangnya mendapat berbagai kesempatan yang mungkin saja kesempatan itu lebih menggiurkan dibanding dia berjualan buku. Misal, tiba-tiba ada satu perusahaan di sebuah kota yang mengundangnya menjadi narasumber acara mereka, atau dia diundang sebuah lembaga tertentu untuk kerja sama tertentu dengan honor dan fasilitas yang besarnya melebihi harga cetak bukunya. Selain itu, dia juga berkemungkinan dipinang pejabat tertentu untuk menjadi ghost writer yang imbalan bayarannya tidak sedikit. Itu tidak mustahil, bukan?
Jadi, jangan fokus ke penjualan buku saja, tetapi fokuslah berkarya terus-menerus dan karya itu tidak semata buku.
Memang, menjadi penulis adalah pilihan. Setiap orang tinggal memilih, untuk tetap bertahan, atau tidak sama sekali. Selamat bersenang-senang dengan kata-kata.
Muhammad Subhan
(Gambar diolah dari kecerdasan buatan [AI] via Bing Image Creator)
Sumber: https://majalahelipsis.com/jadi-penulis-harus-tahan-banting/
Posting Komentar
Komentar ya